Rabu, 25 Februari 2009

  • Kebudayaan

Pengertian kebudayaan sangat bervariasi, dan setiap batasan arti yang diberikan bergantung pada sudut pandang masing-masing orang berdasarkan pola pemikirannya. Beberapa orang menganggap kebudayaan sebagai perilaku sosial. Bagi yang lain, kebudayaan sama sekali bukanlah perilaku, melainkan abstraksi perilaku. Sebagian orang lagi menganggap kapak batu, candi, dan tembikar merupakan kebudayaan. Sementara bagi yang lain menganggap benda tersebut bukan sebagai kebudayaan, tetapi hasil dari kebudayaan.

Definisi tertua mengenai kebudayaan dikemukakan E.B. Tylor (1832 – 1917) dalam bukunya Primitive Cultures yang menekankan konsepsi kebudayaannya atas dasar teori evolusi, yaitu menganggap kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. (E.B. Tylor, 1958 : 1) Pada sisi lain Margaret Mead (1901 – 1978) mendefinisikan kebudayaan sebagai perilaku pembelajaran sebuah masyarakat atau subkelompok. Raymond Williams (1921 – 1988) menyatakan budaya mencakup organisasi produksi, struktur keluarga, struktur lembaga yang mengekspresikan atau mengatur hubungan sosial, bentuk-bentuk berkomunikasi khas anggota masyarakat. Meskipun pengertian kebudayaan sangat bervariasi, ada suatu upaya merumuskan kembali konsep kebudayaan yang dilakukan oleh A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn dalam “Culture : A Critical Review of Concept and Definitions” (1952) yang mengutarakan bahwa yang dimaksud dengan kebudayaan adalah keseluruhan pola tingkah laku dan pola bertingkah laku, baik eksplisit maupun implisit, yang diperoleh dan diturunkan melalui simbol, yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dari kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda materi. (lihat C. Kluckhohn dalam P. Suparlan (edit), 1984 : 83 – 91 ; A.L. Kroeber & C. Kluckhohn, 1952)

Bronislaw Malinowski (1884 – 1942) mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur tersebut berada. Fungsi dari salah satu unsur tersebut adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau primer manusia seperti kebutuhan makanan, reproduksi, merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua atau sekunder, yaitu kebutuhan manusia sebagai hasil dari usaha-usaha dalam memenuhi kebutuhan pokoknya dengan cara melibatkan orang lain atau bekerjasama dalam kehidupan sosial atau bermasyarakat. (Malinowski dalam C.R. Ember & M. Ember, 1973 : 49 – 53) Kebutuhan manusia berikutnya adalah kebutuhan integratif yang mencerminkan manusia sebagai makhluk berbudaya atau beradab yang disebabkan sifat-sifat dasar manusia sebagai makhluk yang mempunyai pikiran, bermoral, bercita rasa, dan dapat mengintegrasikan berbagai kebutuhan menjadi suatu sistem yang dapat dibenarkan secara moral, dan dapat diterima oleh akal pikiran beserta cita rasanya. (Suparlan dalam Rohidi, 2000 : 6)

Kebutuhan primer, sekunder, dan integratif tersebut kesemuanya dapat dipenuhi oleh manusia melalui kebudayaannya yang berfungsi sebagai pedoman untuk bertindak. Pengertian kebudayaan di sini adalah sebagai keseluruhan pengetahuan, kepercayaan dan nilai yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial. Isi dari kebudayaan tersebut, antara lain adalah perangkat model pengetahuan atau sistem makna yang terjalin secara keseluruhan dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis. Perangkat model pengetahuan atau sistem makna tersebut digunakan secara selektif oleh warga masyarakat pendukungnya untuk berkomunikasi, dan juga berfungsi sebagai pedoman dalam bersikap atau bertindak guna menghadapi lingkungan beserta memenuhi berbagai kebutuhannya (C. Geertz, 1973).

Istilah kebudayaan atau culture dalam bahasa Inggris, berasal dari kata benda dalam bahasa Latin colere yang berarti bercocok tanam (cultivation), produksi, pengembangan, atau perbaikan tanaman yang khusus. (Webster’s, 1994 : 337) Dalam bahasa Indonesia, kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari kata buddhi (budi atau akal); dan kadangkala ditafsirkan sebagai perkembangan kata majemuk “budi-daya” yang berarti daya dari budi, berwujud cipta, rasa, dan karsa. (Purwanto, 2000 : 51-52)

Pengertian kebudayaan di sini seperti yang telah diuraikan di muka adalah sebagai keseluruhan pengetahuan, kepercayaan dan nilai yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial. Kebudayaan berisi antara lain perangkat model pengetahuan atau sistem makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis. Model pengetahuan atau sistem makna tersebut digunakan secara selektif oleh warga masyarakat pendukungnya untuk berkomunikasi, melestarikan dan menghubungkan pengetahuan, serta merupakan pedoman bersikap dan bertindak dalam menghadapi lingkungannya, guna memenuhi berbagai kebutuhannya (C. Geertz, 1973 : 89).


  • Percampuran Kebudayaan

Kebudayaan juga dapat dipandang sebagai setting bagi tipe manusia yang bersifat normatif bagi kelompoknya, dan melahirkan gaya hidup tertentu yang secara tipikal berbeda dengan kelompok lainnya. Kebudayaan senantiasa dikaitkan dengan suatu kelompok manusia yang mempunyai seperangkat nilai, sistem simbol dan kepercayaan yang mengacu pada cita-cita tertentu. Kebudayaan ditransmisikan pada kelompok lain melalui proses enkulturasi yang pada saatnya menimbulkan pandangan baru yang khas dalam memandang dunia dengan bentuk aturan-aturan yang dibakukan atas dasar konsesus bersama, sehingga memberi peluang terciptanya pilihan-pilihan yang konsisten dan sistematik berwujud gaya hidup, gaya pakaian, gaya bangunan, dan gaya seni.

Proses percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi disebut akulturasi (acculturation) yang bermakna sebagai proses masuknya pengaruh kebudayaan asing atau berbeda terhadap suatu masyarakat, sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing yang berbeda tersebut, dan sebagian berusaha menolak pengaruhnya. (lihat Webster’s, 1994 : 9 ; Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 1988 : 18)

Salah satu akibat dari proses pencampuran dua budaya adalah hibriditas. Istilah “hibrid” atau “hibrida” awalnya adalah istilah dalam bidang ilmu biologi untuk menandai keturunan dari dua hewan atau tanaman yang berasal dari ras, jenis, varietas, spesies, atau generik yang berbeda. Hibridisasi berarti persilangan dari populasi yang berbeda atau proses perkawinan silang dari jenis yang berbeda. (lihat Webster’s, 1994 : 660 ; KBBI, 1988 : 305) Perkembangan selanjutnya hibriditas menjadi sebuah istilah yang diadopsi dalam wacana budaya dan sering digunakan dalam studi poskolonialisme, terutama tentang dampaknya pada daerah jajahan.

Secara garis besar hibriditas dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, pertama percampuran dua budaya karena pemaksaan seperti budaya penjajah yang mendominasi budaya yang dijajah, sehingga menimbulkan dualisme atau hibriditas antara budaya asli dan budaya kolonial. Kedua adalah hibriditas yang terjadi tanpa paksaan atau tekanan akibat terjadinya dialektika antara budaya satu dengan budaya lain. Ketiga adalah hibriditas yang berbentuk perlawanan, yaitu hibriditas yang terjadi sebagai reaksi budaya yang dijajah melawan budaya yang menjajah. (lihat Rutherford, 1990 : 208 ; Bhabha, 1994 : 112 – 115)

Jenis hibriditas yang pertama bercirikan pengikisan nilai asli dari budaya yang dijajah, atau terjadi asimilasi (pembauran budaya asli dengan penjajah), dan terjadi kooptasi atau pemaksaan budaya penjajah kepada budaya yang dijajah. Ciri jenis hibriditas kedua adalah terjadinya transkulturasi atau lintas budaya, kemudian negosiasi atau proses tawar menawar, dan transfigurasi atau terciptanya bentuk atau tampilan baru sebagai hasil penggabungan unsur budaya yang lain. Jenis hibriditas ketiga bercirikan suatu perlawanan, yaitu terjadinya pembacaan ulang terhadap nilai yang berlaku pada budaya dominan atau penjajah.

Studi hibriditas memberikan peluang hadirnya ruang ketiga (the third space) antara dua budaya dan tidak terlalu mempermasalahkan penelusuran jejak budaya asal sebelum menjadi budaya baru. Ruang ketiga ini memberi kesempatan pembentukan budaya baru yang memungkinkan tidak sesuai dengan jejak sejarah asalnya. Hibriditas menempatkan secara bersama makna-makna yang berseberangan (misalnya Barat dengan Timur). Keharusan untuk mengejar orisinalitas tidak menjadi prioritas utama dalam hibriditas. Penekanan dalam hibriditas pada keinginan untuk menerima perbedaan dan mengolah kenyataan budaya yang berbeda dalam dirinya. Proses hibriditas budaya memungkinkan terbentuknya sesuatu yang berbeda, baru, bahkan belum dikenal sebelumnya, yang merupakan area baru tempat terjadi negosiasi makna dan representasi. Hibriditas bukan solusi antar dua budaya, tetapi berdiri sendiri. Sebagai contoh, pertemuan dan percampuran peradaban Jawa dan Eropa (Belanda) melahirkan gaya budaya campuran yang disebut sebagai budaya Indis. Awalnya budaya tersebut bagi pengamat dari Eropa atau Indonesia tampak aneh atau ganjil. Di mata orang Jawa terdapat suatu pandangan bahwa budaya Indis adalah kasar (vulgar) atau ora nJawani. Sedang bagi sebagian orang Belanda budaya Indis dianggap rendah, dan aneh.

Unsur kebudayaan Belanda mula-mula dibawa oleh para pedagang dan pejabat VOC (Vereenigde Oost-Indische Commpagnie), kemudian rohaniawan Protestan dan Katolik. Peran para cendikiawan dalam mengembangkan kebudayaan campuran ini sangat besar, khususnya dalam bidang pendidikan, teknologi pertanian dan perkebunan, serta transportasi. Hasil perpaduan awalnya menunjukkan ciri-ciri Eropa tampak lebih menonjol, tetapi keadaan alam tropis Pulau Jawa turut menentukan dalam mewujudkan hasil karya budaya campuran tersebut, seperti bentuk arsitektur rumah tempat tinggal, cara berpakaian, gaya hidup, dan sebagainya. Suburnya budaya Indis, awalnya didukung oleh kebiasaan hidup membujang para pejabat Belanda. Larangan membawa istri (kecuali pejabat tinggi) mengakibatkan terjadi percampuran darah yang melahirkan anak-anak campuran dan menumbuhkan budaya dan gaya hidup Belanda-Pribumi atau Indis. Wujud dan isi kebudayaan yang terjadi dalam proses akulturasi ini sekurang-kurangnya ada tiga macam, pertama berupa sistem budaya, kedua berupa sistem sosial, dan ketiga berwujud benda atau artefak.

J.J. Honigman (1954) membedakan fenomena kebudayaan atau wujud kebudayaan, yaitu sistem budaya (sistem nilai, gagasan-gagasan, dan norma-norma), sistem sosial (keseluruhan aktivitas dan tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat), artefak atau kebudayaan fisik. Pada sisi yang lain C. Kluckhohn menyatakan bahwa dalam setiap kebudayaan makhluk manusia terdapat unsur kebudayaan yang sifatnya universal, meliputi sistem organisasi sosial, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi, sistem pengetahuan, kesenian, bahasa dan religi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa setiap unsur kebudayaan, misalnya sistem mata pencaharian hidup, pada hakekatnya juga mengandung tiga wujud kebudayaan, yaitu sistem budaya, sistem sosial, dan artefak.

Kebudayaan Belanda yang datang memperkaya kebudayaan Jawa yang terdiri atas tujuh unsur budaya universal adalah (1) bahasa (lisan maupun tertulis), (2) peralatan dan perlengkapan hidup manusia (antara lain: pakaian, rumah, senjata, alat transportasi, alat produksi, peralatan rumah tangga, dan sebagainya), (3) mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, dan sebagainya), (4) sistem kemasyarakatan (organisasi politik, sistem kekerabatan, sistem hukum, sistem perkawinan, dan sebagainya), (5) kesenian (seni rupa, seni sastra, seni suara, seni tari, kerajinan tangan, arsitektur, dan sebagainya), (6) ilmu pengetahuan, dan (7) religi.

Sebelum kehadiran bangsa Belanda, suku Jawa sudah mempunyai peradaban yang tinggi. Kemahiran dalam mengerjakan bahan-bahan dari kayu, batu, logam, dan tanah liat dapat ditunjukkan buktinya dalam membangun rumah tempat tinggal berarsitektur kayu, bangunan candi dari batu alam atau bata, alat-alat rumah tangga dari gerabah, logam, dan kayu. Alat-alat upacara yang berwujud patung dari kayu, batu, besi, perunggu, perak, emas, dan sebagainya. Pengetahuan tentang teknologi ini kemudian dipadukan dengan pengetahuan dari Eropa (Belanda) menyebabkan akulturasi dalam bidang teknologi, menghasilkan berbagai alat kelengkapan hidup seperti pakaian, arsitektur, alat-alat rumah tangga yang bergaya Indis.

Kebudayaan Jawa mempunyai suatu sejarah kesusasteraan yang cukup panjang, dan memiliki kesenian yang tinggi serta adiluhung, seperti seni suara, dan tari-tarian, serta ditandai oleh suatu kehidupan keagamaan yang sangat sinkretistik, campuran dari unsur agama asli (kejawen), Hindu, Budha, dan Islam. Hal ini berbeda dengan kebudayaan pesisir yang hidup di kota-kota pantai utara pulau Jawa yang pada umumnya memeluk agama Islam puritan yang juga mempengaruhi kehidupan sosial budaya mereka.

R. Linton (1936) membagi kebudayaan meliputi bagian yang tampak atau overt culture dan bagian yang tidak tampak atau convert culture. Oleh Honigman, wujud kebudayaan yang tidak tampak disebut ide atau gagasan, yaitu sesuatu yang abstrak, berbeda dengan overt culture yang dapat dilihat dengan panca indera. Sebab itu overt culture dapat pula dinyatakan sebagai bagian dari sistem budaya, karena di samping gagasan-gagasan, cakupan dari sistem budaya juga meliputi sistem nilai budaya, konsep-konsep, tema-tema pikir, dan keyakinan-keyakinan.

Sistem nilai budaya masyarakat Jawa, dan keyakinan-keyakinan yang dianutnya, pada dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang menganut ajaran agama Islam Jawa yang merupakan sinkretis dari ajaran pra-Hindu atau kejawen asli, Hindu, dan Islam. Kedua, mereka yang menganut ajaran agama Islam puritan, atau yang mengikuti ajaran agama secara lebih taat.

Apabila untuk keperluan sensus penduduk atau memperoleh KTP, SIM, dan sebagainya, masyarakat Jawa pada umumnya mengaku beragama Islam. Meskipun demikian, sebagian dari mereka yang menjawab dan mengisi formulir tersebut, sebagian tidak menjalankan kelima rukun Islam secara serius. Misalnya, sebagian dari mereka tidak menjalankan sholat lima waktu secara penuh. Banyak di antara mereka yang tidak berkeinginan atau bercita-cita untuk menunaikan ibadah haji atau pergi ke Mekah. Namun banyak di antara mereka yang taat dan rajin menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Meskipun demikian, mereka yang mengaku Islam tetapi tidak menjalankan kelima rukun Islam secara serius tersebut bukan berarti mereka tidak beragama, atau hanya sedikit memikirkan tentang agama, atau menjalankan kehidupannya tanpa kegiatan agama, sebab sesungguhnya agama yang mereka anut justru telah sangat banyak menyita waktu kehidupan sehari-hari. Mereka sangat yakin akan adanya Allah SWT, dan seperti orang muslim umumnya, mereka juga percaya bahwa Muhammad SAW adalah nabiNya. Disadari dan dipahami oleh mereka, bahwa hanya orang yang baik jalan hidupnya yang akan naik ke sorga, dan orang yang tidak baik atau banyak dosanya akan masuk ke dalam neraka. Mereka tahu kitab suci agama Islam adalah Al Quran, yang berisi firman-firman Allah SWT. Setiap orang paling sedikit hapal dan dapat mengucapkan syahadat serta al fatihah. Selain persamaan dengan orang-orang Islam dari daerah lain di Indonesia, orang Jawa dari golongan ini juga yakin dengan konsep-konsep ajaran agama yang berbeda, yakin dengan kekuatan-kekuatan gaib dan sakti, serta melakukan berbagai ritus dan upacara keagamaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran agama Islam yang resmi atau murni. Mereka tidak dapat dikatakan sebagai orang yang beragama Islam tetapi tidak mempedulikan tentang agama, sebab sesungguhnya agama yang mereka anut dan yakini adalah suatu varian dari agama Islam Jawa yang sering disebut Agami Jawi.

Seperti yang diungkapkan oleh C. Geertz dalam bukunya The Religion of Java (1960), agama orang Jawa harus dibedakan antara dua buah manifestasi agama yang cukup berbeda, yaitu Agami Jawi dan Agami Islam Santri. Sebutan pertama berarti “Agama orang Jawa” sedangkan yang kedua berarti “Agama Islam yang dianut oleh orang santri.

Bentuk agama Islam orang Jawa yang disebut Agami Jawi atau Kejawen, suatu keyakinan campuran dengan konsep-konsep kepercayaan asli, Hindu dan Budha yang cenderung ke arah mistik, dan dinyatakan sebagai agama Islam. Varian Agami Islam Santri, walaupun tidak bebas sama sekali dari unsur kepercayaan asli, Hindu dan Budha, tetapi lebih dekat kepada dogma-dogma ajaran Islam yang sebenarnya.

Sangat sukar untuk memperkirakan proporsi penduduk Jawa yang menganut Agami Jawi dan yang menganut Agami Islam Santri. Meskipun dapat diduga, Agami Jawi lebih dominan di daerah pedalaman, sedangkan Agami Islam Santri lebih dominan di daerah pesisir.

Sementara itu para ahli antropologi Inggris seperti Radcliffe-Brown, dan sebagian ahli antropologi Amerika dalam memberikan batasan kebudayaan sangat dipengaruhi oleh konsep yang didasarkan atas fakta-fakta sosial (social fact) atau kesadaran kolektif (conscience collective) dari E. Durkheim. Bagi mereka, struktur sosial adalah dasar utama dari masyarakat, dan budaya atau adat istiadat, inklusif termasuk dalam struktur sosial, yaitu sebagai proses pewarisan yang terjadi dalam struktur sosial. Untuk memahami suatu struktur sosial dari suatu masyarakat, harus dirumuskan melalui fakta sosial yang terdapat dalam suatu masyarakat.

Semula konsep social structure dikembangkan oleh para ahli antropologi dari British Social Anthropologist yang dipelopori oleh Alfred R. Radcliffe Brown dalam penelitiannya di kalangan orang Andaman (The Andaman Islanders) tahun 1922. Koentjaraningrat (1971, 1994) berpendapat bahwa di masa lalu konsep tersebut banyak mempengaruhi cara berpikir para peneliti kebudayaan Indonesia, seperti Rassers dan J.P.B. de Josselin de Jong.


  • Perubahan kebudayaan

Dalam suatu studi tentang perubahan kebudayaan, seringkali struktur sosial dianggap sebagai bagian yang statis, sedangkan bagian dinamis pada berbagai bentuk interaksi sosial. Guna kepentingan studi mengenai struktur sosial, sistem kekerabatan dipakai sebagai titik pangkal untuk mengabstraksinya. Dengan demikian diharapkan suatu pendekatan yang menjadi ciri khas antropologis terhadap struktur sosial suatu masyarakat, dapat dipakai untuk memecahkan masalah-masalah sosial budaya. Oleh sebab itu, metode analisis yang memandang kebudayaan sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi, akan memudahkan pemahaman terhadap keterkaitan setiap unsur kecil dalam kebudayaan. Demikian juga keterkaitan lebih lanjut dari unsur kecil tersebut dalam rangka keseluruhannya seperti terlihat pada konsep patterns of culture dari Ruth Benedict (1934), yang menganjurkan agar dalam melihat kebudayaan manusia tidak hanya sekedar melihat dari himpunan dari unsur yang satu dengan yang lainnya secara terlepas, tetapi sebagai suatu kompleks jaringan yang mempunyai arti, watak, dan jiwa. Tugas seorang antropolog untuk menyelami jiwa dari suatu kebudayaan dengan memperhatikan gagasan, perasaan, dan emosi setiap individu pada suatu masyarakat. Selain itu ia harus mampu mendeskripsikan secara detail unsur dari kebudayaan, dan juga menganalisis berbagai gagasan, perasaan, dan emosi yang melatar belakanginya. Sebab itu pengertian konsep patterns dari Ruth Benedict ialah keseluruhan jaringan emosi yang hidup dalam suatu kebudayaan yang seolah-olah memberikan jiwa dan watak pada suatu kebudayaan.

Pada hakekatnya berbagai unsur universal kebudayaan saling terkait dan merupakan jaringan terintegrasi yang dapat dilihat melalui berbagai fungsi yang terjalin dari unsur tersebut (fungsionalisme), terutama yang menjadi fokus dari suatu kebudayaan (cultural interest), maupun yang berkaitan dengan etos dari suatu kebudayaan. Pendekatan seperti ini pernah dipakai oleh C. Geertz untuk menjelaskan pengertian dan keterkaitan etos dan pandangan hidup di kalangan orang Jawa, antara lain dengan cara menganalisis simbol suci yang ada.

Sebuah sistem religius merupakan serangkaian simbol sakral yang terjalin menjadi sebuah keseluruhan tertentu yang teratur. Pada masyarakat Jawa umumnya, bagi mereka yang terlibat di dalamnya, sistem religius itu tampaknya sebagai perantara pengetahuan sejati, pengetahuan tentang kondisi-kondisi hakiki. Seseorang yang mengabaikan norma-norma sosial yang sudah ada atau menganut gaya hidup yang menyimpang, maka dikatakan “belum Jawa” atau ora nJawawani. Istilah “belum Jawa” ini diberikan kepada mereka yang tidak manusiawi, tidak tahu adat sopan santun, orang-orang yang tidak bermoral, atau anak-anak kecil yang masih dianggap belum beradab.

Tingkah laku yang tidak etis disebut “tidak biasa”, perbuatan jahat yang lebih serius seperti santet atau tenung, incest, dan pembunuhan, biasanya disebut sebagai perbuatan orang yang “tidak waras”, “orang gila”, “tidak tahu aturan”, dan kata untuk “agama” serta kata untuk “ilmu pengetahuan” memiliki makna kesejajaran yang sama. Moralitas lalu memiliki wujud sederhana, yang merupakan kebijaksanaan praktis. Agama menopang tingkah laku yang layak dengan melukiskan suatu dunia yang di dalamnya tingkah laku itu merupakan satu-satunya akal sehat.

Tingkah laku merupakan satu-satunya akal sehat, karena antara etos dan pandangan dunia, antara gaya hidup yang diterima dan struktur kenyataan yang diandaikan, terdapat sesuatu yang dipahami sebagai kesesuaian yang jelas dan mendasar, sehingga keduanya saling melengkapi dan saling meminjamkan makna satu sama lain. Di Jawa umumnya pandangan ini diringkas dalam sebuah konsep yang bernama cocok atau pas, seperti sebuah anak kunci yang masuk ke dalam lubangnya, seperti suami dengan isterinya (jika tidak cocok, mereka akan bercerai). Dalam arti yang paling luas dan abstrak, keduanya membentuk suatu pola koheren yang memberikan kepada masing-masing sebuah makna atau nilai yang tidak dimiliki dirinya sendiri. Tersirat di sini sebuah pandangan tentang keselarasan alam semesta. Dalam keselarasan tersebut, yang penting adalah apakah hubungan alamiah satu sama lain dimiliki oleh unsur yang terpisah-pisah, bagaimana unsur itu harus dirangkai untuk membunyikan perpaduan nada yang selaras dan mencegah kesumbangan. Seperti dalam harmoni, hubungan yang pada akhirnya betul itu kokoh, tetap, dan dapat diketahui. Demikian juga agama seperti harmoni, akhirnya seperti ilmu pengetahuan praktis, yang menghasilkan nilai dari fakta seperti musik menghasilkan suara, seperti kriawan perak menghasilkan karya kria perak. Cocok adalah gagasan Jawa yang khas, sebuah pandangan yang melihat kehidupan terlaksana dengan baik jika tindakan manusia diselaraskan dengan kondisi-kondisi kosmis yang bersifat umum.

Konsep kebudayaan di kalangan ahli antropologi telah berkembang ke berbagai bidang pemikiran, meskipun kadang-kadang masih dijumpai belum adanya konsistensi penggunaan dan penerapannya masih terdapat pemahaman yang kurang jelas. Sebagai contoh Roger M. Keesing (1981) dan Goodenought (1957, 1961) mengatakan bahwa dalam konteks definisi serta penggunaannya sering masih kabur, misalnya membedakan antara “pola untuk perilaku” dan “pola dari perilaku”. Kebudayaan sebagai “pola untuk perilaku” adalah mengacu pada “pola kehidupan suatu masyarakat”, yaitu berupa berbagai kegiatan atau bentuk pengaturan sosial dan material. Dalam pengertian berikutnya berupa gagasan yang mengacu pada sistem pengetahuan dan kepercayaan, yang menjadi pedoman untuk mengatur tindakan mereka.

Menurut E.B. Tylor dalam buku Primitive Culture (1871), kata “kultur” dalam bahasa Jerman sama pengertiannya dengan kata civilization dalam bahasa Inggris. Hal ini menunjukkan istilah cultural dalam bahasa Inggris tidak dapat diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya juga dijelaskan oleh Kroeber dan Kluckhohn (1952 : 12-13) bahwa kata civilization dalam bahasa Inggris yang lebih dahulu muncul daripada kata culture. Pada waktu itu, kata civilization atau peradaban berasal dari kata to civilize di pakai dalam arti sebagai lawan kata barbarity atau barbar. Setelah itu muncul kerancuan dalam memakai istilah tersebut, ada yang beranggapan bahwa culture dipakai untuk menunjuk pada suatu tahapan tertentu dari kemajuan sebuah peradaban, dan ada juga yang berpendapat bahwa peradaban adalah suatu tingkat perkembangan lebih lanjut dari budaya. Meskipun demikian, ada kecenderungan penggunaan istilah peradaban dipakai untuk menunjuk tingkatan yang paling tinggi dari suatu kebudayaan (advanced or high culture).

Budaya sebagai sistem pemikiran mencakup sistem gagasan, konsep-konsep, aturan-aturan, serta pemaknaan yang mendasari dan diwujudkan dalam kehidup-an yang dimilikinya melalui proses belajar. Sebab itu C. Geertz berpendapat bahwa kebudayaan adalah sistem pemaknaan yang dimiliki bersama, dan kebudayaan merupakan hasil dari proses sosial, bukan proses perseorangan. Dalam perkembangannya tampak bahwa pembatasan kebudayaan lebih menekankan pada hal-hal yang abstrak daripada yang konkret. Hal ini tampak pada tulisan Geertz dalam bukunya the Interpretations of Cultures (1974). Geertz menganjurkan agar dalam memahami suatu kebudayaan lebih memperhatikan pemahaman makna daripada tingkah laku manusia, atau hanya sekedar mencari hubungan sebab akibat. Agar dapat memahami makna dari suatu kebudayaan maka seorang ahli harus mampu menafsirkan simbol-simbol yang dipergunakan oleh seseorang. Suatu penafsiran konfigurasi dari sistem simbol-simbol bermakna tadi, hendaknya dilakukan secara menyeluruh dan mendalam. Dengan demikian didapat suatu pemahaman kebudayaan yang mencakup bagaimana para warga masyarakat tersebut dapat melihat, merasakan, dan berpikir mengenai sesuatu di sekelilingnya. Serupa dengan pandangan Geertz, dalam sosiologi juga berkembang pemikiran pemikiran interaksionis simbolik dari Herbert Blumer (1969) dan Ritzer (1988).

Jenis simbol-simbol yang dipandang oleh masyarakat sebagai sesuatu yang sakral sangat bervariasi. Dalam sebuah kebudayaan yang kompleks seperti kebudayaan Jawa, yang didalamnya terdapat pengaruh dinamisme, animisme, Hindu, dan Islam, semuanya hadir sangat kuat. Orang dapat memilih salah satu dari beberapa kompleks simbol yang dapat menyingkapkan integrasi etos dan pandangan hidup. Kaitan antara nilai Jawa dan metafisika Jawa dapat diperoleh melalui sebuah analisis singkat terhadap wayang kulit purwo, salah satu bentuk kesenian yang berkembang, serta sekaligus merupakan sebuah upacara religius paling dalam dan berakar di masyarakat.

Selanjutnya sistem pemaknaan ini selalu mempunyai dua sisi aspek, yaitu aspek kognitif dan aspek evaluatif. Melalui pemahaman terhadap aspek kognitif, akan didapatkan sistem kepercayaan atau pengetahuan yang memungkinkan para penganut kebudayaan dapat melihat dunianya, masyarakatnya, dan bahkan dirinya sendiri. Aspek kognitif ini menentukan orientasi sekelompok orang terhadap tempat hidupnya. Sementara itu di sisi lain, kebudayaan juga menonjolkan aspek evaluatif. Melalui pemahaman terhadap aspek evaluatif akan diperoleh suatu pengetahuan dan kepercayaan tertentu yang ditrans-formasikan menjadi nilai, yang pada gilirannya akan mengkristal menjadi sistem nilai di masyarakat. Sistem nilai inilah yang menentukan sikap mengenai apa yang akan diambil atau diputuskan oleh seseorang terhadap perihal kehidupannya, yang kesemuanya ditanggapi menurut sistem makna atau sistem kognitif yang dianutnya.

Lebih lanjut Leslie White (1969) juga mengatakan bahwa pangkal dari semua tingkah laku manusia tercermin pada simbol-simbol yang tertuang dalam seni, religi, dan kekuasaan. Semua aspek simbolik tadi terlihat dalam bahasa. Sementara itu kebudayaan juga merupakan fenomena yang selalu berubah sesuai dengan alam sekitarnya dan keperluan suatu komunitas.

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut di atas, maka jelaslah bahwa kebudayaan sebagai suatu sistem yang melingkupi kehidupan manusia pendukungnya, merupakan suatu faktor yang menjadi dasar tingkah laku manusia, baik dalam kaitannya dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya. Oleh karena itu, mutu suatu lingkungan fisik atau lingkungan sosial, pada dasarnya merupakan pencerminan kualitas kehidupan sosial masyarakat para pendukung kebudayaan itu.